Memoar Perjalanan Jepang November 2017
13 Nov 2017
Dalam Penerbangan Tokyo Ke Kuala
Lumpur Air Asia D7 523
23.45 Malam-6.20 Pagi
Aku takut terbang. Aku selalu dan
mungkin akan menjadi “a nervous flyer”, tak peduli seberapa banyak aku terbang.
Jika aku bisa memilih, aku lebih baik memilih transportasi lewat darat. Tapi di
zaman sekarang ini,untuk efisiensi waktu dan uang, pesawat lah yang paling
efektif. Perjalananku dengan pesawat terbang masih bisa dihitung dengan jari;
Bali-Bandung PP, Bangkok –Jkt PP , lalu sekarang Jkt-Kuala Lumpur PP, dan
Tokyo-Kuala Lumpur PP.
Seperti biasa penerbangan Air
Asia tengah malam itu fullbooked. Semua orang sudah mengantri ke gate. Banyak
warga Jepang dan Malaysia dalam penerbangan malam itu karena memang dari Tokyo
ke Kuala Lumpur.
Aku segera masuk ke dalam kabin
pesawat, dengan disambut pramugari cantik berpakaian merah menyala khas Air
Asia dan segera mencari tempat dudukku di 41 F. Seperti biasa aku kebagian
duduk di tengah diantara dua kursi. Untuk longhaul flight memang memakai
pesawat besar yang dalam satu barisnya muat 9 kursi dengan formasi 3-3-3. Dan
tempatku duduk itu di tengah di baris kursi yang tengah.
Kadang aku berpikir bagaimana mungkin
pesawat yang begitu besar ini bisa terbang ke langit layaknya burung. Jika kau
mencari-cari tentang magic, tak perlu jauh-jauh membayangkan Harry Potter.
Pesawat segede rumah gini bisa terbang juga sudah merupakan sihir menurutku.
Aku pun duduk dengan rapi di
kursi, menunggu teman duduk di sebelah kanan dan kiriku datang. Dan berharap
agar mereka perempuan agar aku tidak kikuk dan bisa ngobrol seperti yang
kutemui di pesawat sebelumnya di perjalanan dari Kuala Lumpur ke Tokyo. Aku
duduk dengan Nina, warga Malaysia yang sedang studi S2 di Jepang. Mendengar aku
bepergian sendiri ke Jepang, dia memberikan nomor hpnya padaku dan mengajakku
untuk bergabung dengan teman-temannya pada tgl 12 november, karena mereka akan
tamasya ke Nikko untuk melihat daun-daun musim gugur. Bagian ini akan
kuceritakan lagi di bagian lain nanti.
Tak lama kemudian seorang ibu
berkerudung datang, dengan bahasa melayu Malaysia menyuruh anak laki-laki yang
berumur sekitar 17-18 tahunan untuk duduk di sebelahku. Well, pupus sudah harapanku
untuk punya teman duduk perempuan :D .
Selang beberapa menit, ada suara
seorang laki-laki menegurku, “Excuse me..” Aku menoleh ke sisi kananku dan
melihat seorang laki-laki jangkung berkulit putih dan berwajah Asia menatapku.
Alisnya hitam, ra mbutnya pendek. Dia berumur sekitar 25 tahunan. “Is this 41?”
“Oh, yes,” jawabku beberapa detik
kemudian.
“Ok,” jawabnya. Dia lalu duduk di
sebelahku, membereskan tasnya dan merapikan jaketnya. Aku sekilas melihat
paspor biru tua yang dipegangnya, di atas paspornya tertera huruf Kanji yang
tak aku mengerti, lalu ada lambang entah
matahari/bunga, lalu di bawah lambang itu ada huruf latin tertera, “JAPAN
PASSPORT”. Dia mengobrol dengan bahasa jepang dengan seorang teman laki-lakinya
yang duduk di sebrangnya
Damn, umpatku dalam hati. Alih-alih dapat teman duduk perempuan,
aku malah dapat teman duduk cowok jepang ganteng. Oh my Goood. Heiii aku kan
udah bersuami dan jadi emak emak anak dua harus sadar diri hehehe.
Pesawat mulai berjalan ke tempat
landasan pacu sementara para pramugari dan pramugara memperagakan keselamatan.
Dari Intercom yang bergema dalam seluruh pesawat , terdengar Kopilot
memperkenalkan seluruh awak kabin , yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa
Jepang oleh salah satu pramugari.
Peragaan keselamatan selesai,
seluruh awak kabin mengencangkan sabuk dan duduk di kursi masing-masing. Lampu
pesawat diredupkan, mesin pesawat mulai berdengung kencang, dan roda-roda
pesawat mulai berlari. Kemudian sensasi melambung itu mulai terasa saat hidung
pesawat mulai menukik ke dalam malam yang gulita. Seluruh kabin senyap, lampu
masih belum dihidupkan dan pesawat masih tetap berguncang keras. Aku tak
hentinya melafalkan syahadat dalam hatiku.
Nah, kataku dalam hati, biasanya
setelah pesawat telah mencapai “cruising altitude” tanda sabuk pengaman akan
dipadamkan, lalu lampu kabin akan dinyalakan, dan pramugari cantik itu akan
segera membagikan makanan dan minuman. Tapi setelah lama ditunggu-tunggu lampu
sabuk keselamatan tetap menyala dan lampu tetap dipadamkan dan pesawat masih
berguncang keras. Lalu dari Intercom yang bergema ke seluruh kabin copilot
mengumumkan, “…due to the turbulence, please be seated with your safety belt
buckled in. the toilet would not be available in this moment…”
Mendengar itu aku hanya bisa
terus melafalkan syahadat, beginilah saat orang yang takut terbang ketika harus
terbang. Aku melirik ke kiri, ke anak remaja
Malaysia di sebelahku yang hanya diam membisu, lalu melirik ke lelaki
jepang di kananku, yang tampak sedang
sibuk memainkan game di smartphonennya dengan headset terpasang di kedua
telinganya. Setelah guncangan yang berlangsung entah beberapa lama, akhirnya
lampu kabin dinyalakan dan kopilot mengumumkan bahwa passanger bisa menggunakan toilet dan makanan akan dibagikan. Aku
pun mengeluarkan nafas lega sambil mengusap wajahku. Rupanya tingkahku itu
menarik perhatian pria Jepang di sebelahku itu, dia sejenak berhenti dari main
game di smartphonenya dan melirikku. Membuatku malu sendiri.
Pramugari memberikan makanan
jatahku, nasi biryani, sementara anak remaja Malaysia di sebelahku mendapat
spagettinya. Pria jepang itu tetap sibuk dengan main game di smartphonenya. Saat
aku kesulitan membuka tutup botol air mineralku, remaja Malaysia di sebelahku
menatapku lalu mengangguk pelan, menawarkan untuk membukakan tutup botolnya .
Aku pun memberikan botol air mineralku kepadanya dan dia membantu
membukakannya. “Terima kasih,” bisikku padanya. Dia tersenyum. Sweet kid.
Setelah makan dan minum selesai
dan para awak kabin mengumpulkan sampahnya, tiba-tiba lampu kembali dipadamkan,
dan kopilot kembali mengumumkan kalau kita akan menghadapi turbulensi sehingga
sabuk harus tetap terpasang. Pesawat berguncang keras, lalu para pramugari
berkeliling untuk memastikan para passanger mengenakan sabuk di kursinya sambil
berkata, “Seat belt in,please…”
“Cabin crew please be seated!”
perintah kopilot melalui Intercom.
Aku pun menelan ludah. Kalau kru
kabin yang sudah terbiasa terbang juga sudah disuruh duduk dengan sabuk
terpasang, berarti turbulensi yang akan dialami benar-benar parah. Meski
begitu, aku tak melihat kabin kru, setidaknya yang di depanku, duduk dengan
sabuk terpasang di kursinya seperti yang diperintahkan. Aku terus berdo’a dan
mengingat anak-anakku di rumah, yang berumur 6 & 3 tahun. Aku mengingat
bagaimana hangatnya tubuh mereka dan wangi bedak dan minyak telon dari tubuh
mereka. Tuhan, aku hanya ingin memeluk mereka, tolong selamatkan aku,
selamatkan pesawat ini (lebay memang, tapi waktu itu aku benar-benar
ketakutan).
Pesawat terus berguncang keras, dan aku pun
tak tahan lagi. Aku menoleh ke lelaki Jepang di sebelah kananku itu, menepuk
lengannya. “Excuse me…” bisikku.
Lelaki Jepang itu menoleh ke
arahku, lalu buru-buru melepas headset yang menempel di telinganya sejak dari
tadi. Dia menatapku dengan pandangan bertanya. “Do you want to go the
bathroom?” katanya, hendak bangkit dari kursinya.
“No..no…” tahanku. “Are the flights from Tokyo to Kuala Lumpur at night always like this?” kataku. “Is
it always getting this bumpy?”
Mendengar pertanyaanku dia
tersenyum. “Actually,no,” jawabnya tenang. “I don’t know why this night is
different.”
Glek! Lah yang sudah terbiasa dengan
rute ini juga bilang ada yang berbeda dengan penerbangan malam ini. Aku
membayangkan pesawat ini mengarungi awan-awan kelabu di tengah lautan udara
yang gelap, in the sky in the middle of nowhere. Aku terus berdo’a saja semoga
tidak ada alat navigasi yang rusak di pesawat ini. Tak ada satu pun sekrup yang
terlepas yang terlewat dari inspeksi para kru di darat yang bisa mengakibatkan
hal-hal fatal.
“But it’s okay,” katanya
buru-buru menambahkan. Mungkin melihat raut wajahku yang terlihat cemas di tengah
redupnya cahaya kabin. “It’s’Asia aniway. We’ll be alright.”
“I’m scared,” bisikku. “I don’t
fly many, so I don’t know…”
“It’s okay,” katanya dengan nada
menenangkan. “Where are you from?” tambahnya lagi.
“I’m from Indonesia,” jawabku.
“Ah ya,”’sahutnya. “Then what
would you do in Kuala Lumpur?”
“My flight transit in Kuala
Lumpur before I take another plane to Jakarta.”
“I see. Are you working in Japan or
travelling?”
“I’m travelling,” jawabku dengan
tersenyum.
“So how is Japan? Japan
good,right? Japan cool, isn’t it?
“Yeah,” timpalku bersemangat.
“Japan is so beautiful, I love it. So what are you doing in Kuala Lumpur?”
“I’m studying,” jawabnya.
“I see,” kataku. “What about your
family?”
“Ya, I’m Japanese. My Family is
in Japan. “ jawabnya. “Which part of Indonesia are you? You know I have a lot
of friends in my college from Indonesia. They are from Surabaya, Jakarta…”
“Ohya?” seruku. “I’m from
Cianjur, near Bandung. West Java. Have you come to Indonesia?”
“No, I have not.”
“You should come, it’s beautiful,”
kataku. “You know, you speak English fluently for a Japanese.”
Dan memang benar, bahasa
Inggrisnya lancar dan jelas, tanpa ada kelihatan logat Jepang sama sekal.
Berdasarkan yang aku alami selama di jepang, rata-rata orang sana tidak bisa
bahasa Inggris, atau kalaupun bisa, bahasa Inggrisnya tidak terlau jelas karena
logat jepangnya.
Dia tersenyum mendengar pujianku.
“I like to study internationally. You know, I don’t like to read Kanji.”
“Oh, really..?”
“Ya, and I don’t like cold
weather, I like tropical country, so I come to Kuala Lumpur.”
“Really?” seruku lagi. Aku malah
orang tropis yang mencari dingin dan ingin merasakan musim gugur. Dia malah
mencari hawa panas negara tropis, hmmm…
Kami mengobrol berbagai macam hal
lain lagi, sebelum akhirnya berhenti dan terlelap di tidur masing-masing. Lampu
kabin tidak dinyalakan lagi, mungkin maksudnya untuk membiarkan para penumpang
tertidur lelap. Aku hanya bisa tidur sekejap-sekejap, karena mesin pesawat juga
berdengung berisik, belum dengan turbulensi yang terjadi.
Sekitar 6 jam berikutnya, kopilot
mengumumkan dari interkom yang bergema
ke seluruh kabin, bahwa pesawat sebentar lagi akan landing di Kuala Lumpur. Dia
menjelaskan bahwa karena cuaca Kuala Lumpur yang berawan dan sedikit hujan,
proses landing akan terasa sedikit “bumpy” . Namun sebelum proses landing
dilakukan, pramugari dan pramugara beredar sekali lagi untuk membagikan sarapan
pagi.
Lelaki Jepang disebelahku sibuk
membolak-balik sebuah majalah penerbangan yang berada di kantung kursi di depannya,
sebelum dia menyentuhku dan menunjuk sebuah halaman di majalah itu. Kulihat
halaman itu menampakkan beberapa kota di Indonesia dengan foto-foto keindahan
alamnya masing-masing. “Which part are you?” tanyanya.
“Ah,” seruku. “This one.” Aku
menunjuk Bandung dengan foto tangkuban perahunya. Tak ada pilihan Cianjur di
sana, dan aku juga pernah tinggal di bandung dan masih sering bolak-balik ke
sana sekarang, hehe. “You should come. It’s beautiful,” undangku. Not
mentioning the traffic jam dan sampah dimana-mana, hehe. But Bandung is better
now,anyway, setelah RK gencar melakukan perombakan wajah Bdg dimana-mana
(Sorry, no political interest).
Dia mengangguk-ngangguk dan
bergumam, “Bandung…Bandung…”
Lampu kabin kembali diredupkan
untuk proses landing. Suasana kembali senyap, hanya terdengar suara deru mesin
di kanan kiri kami. Setelah beberapa menit yang terasa seabad, roda pesawat
menyentuh tanah, lalu rem, kemudian pesawat melalu proses parking untuk menuju
ke terminalnya. Aku berseru dalam hati, “Alhamdulillah!”
Kami pun bersiap-siap mengemas
tas kami.
Aku pun melontarkan pertanyaan
yang berkecamuk dalam pikiranku dari tadi.”Why do you study in Malaysia? Why
not In Japan?”
“Well, like I
said earlier I like to study internationally. It’s cheaper here..and I like
tropical country.”
“I see.. you
are so different,” kataku
“As long as
being different in a good way,” katanya sambil tersenyum.
Pikirku,
mungkin orang ini bosan dengan masyarakat Jepang yang kaku dan ingin memiliki
kebebasannya sendiri.
“Do you have
bags up here?” tanyanya menunjuk atas kabin tempat menyimpan tas.
“No, I have my
check in luggage.”
“I have my
other two bags here so I have to wait.”
Terdengar pintu
pesawat dibuka dan disambungkan dengan gate.
“You know,”
tambahku. “Actually I hate flying. I have to catch my next flight after this.”
“That’s okay..”
katanya menenangkan.
Lalu dia
berbicara tentang kartu SIM Malaysianya
yang expired, dan bagaimana dia mungkin tidak bisa order grab karena harus
membeli kartu SIM baru. Dia menceritakan berbagai hal lain lagi dan hal lain
lagi, yang hanya bisa aku timpali dengan “Really?” “Yes..” “I see..”. Wah wah ternyata
orang jepang ini kalo sudah diakrabi bawel juga ya :D
Aku sudah
melangkah ke Alley, antrian menuju keluar sudah mulai bergerak, dan untuk
terakhir kalinya aku menoleh ke arahnya dan berkata, “Sayonara..”
Dia melambaikan
tangannya dan berkata sambil tersenyum, “Have a nice flight…”
Aku pun
melangkah keluar menuju bandara KLIA 2 yang sedikit lebih hangat. Tanpa tahu
ada drama yang lain menungguku…