Rabu, 22 November 2017

Cerita Dari Kabin D7 523 Tokyo-Kuala Lumpur

Memoar Perjalanan Jepang November 2017

13 Nov 2017
Dalam Penerbangan Tokyo Ke Kuala Lumpur Air Asia D7 523
23.45 Malam-6.20 Pagi

Aku takut terbang. Aku selalu dan mungkin akan menjadi “a nervous flyer”, tak peduli seberapa banyak aku terbang. Jika aku bisa memilih, aku lebih baik memilih transportasi lewat darat. Tapi di zaman sekarang ini,untuk efisiensi waktu dan uang, pesawat lah yang paling efektif. Perjalananku dengan pesawat terbang masih bisa dihitung dengan jari; Bali-Bandung PP, Bangkok –Jkt PP , lalu sekarang Jkt-Kuala Lumpur PP, dan Tokyo-Kuala Lumpur PP.

Seperti biasa penerbangan Air Asia tengah malam itu fullbooked. Semua orang sudah mengantri ke gate. Banyak warga Jepang dan Malaysia dalam penerbangan malam itu karena memang dari Tokyo ke Kuala Lumpur.

Aku segera masuk ke dalam kabin pesawat, dengan disambut pramugari cantik berpakaian merah menyala khas Air Asia dan segera mencari tempat dudukku di 41 F. Seperti biasa aku kebagian duduk di tengah diantara dua kursi. Untuk longhaul flight memang memakai pesawat besar yang dalam satu barisnya muat 9 kursi dengan formasi 3-3-3. Dan tempatku duduk itu di tengah di baris kursi yang tengah.

Kadang aku berpikir bagaimana mungkin pesawat yang begitu besar ini bisa terbang ke langit layaknya burung. Jika kau mencari-cari tentang magic, tak perlu jauh-jauh membayangkan Harry Potter. Pesawat segede rumah gini bisa terbang juga sudah merupakan sihir menurutku.

Aku pun duduk dengan rapi di kursi, menunggu teman duduk di sebelah kanan dan kiriku datang. Dan berharap agar mereka perempuan agar aku tidak kikuk dan bisa ngobrol seperti yang kutemui di pesawat sebelumnya di perjalanan dari Kuala Lumpur ke Tokyo. Aku duduk dengan Nina, warga Malaysia yang sedang studi S2 di Jepang. Mendengar aku bepergian sendiri ke Jepang, dia memberikan nomor hpnya padaku dan mengajakku untuk bergabung dengan teman-temannya pada tgl 12 november, karena mereka akan tamasya ke Nikko untuk melihat daun-daun musim gugur. Bagian ini akan kuceritakan lagi di bagian lain nanti.

Tak lama kemudian seorang ibu berkerudung datang, dengan bahasa melayu Malaysia menyuruh anak laki-laki yang berumur sekitar 17-18 tahunan untuk duduk di sebelahku. Well, pupus sudah harapanku untuk punya teman duduk perempuan :D .

Selang beberapa menit, ada suara seorang laki-laki menegurku, “Excuse me..” Aku menoleh ke sisi kananku dan melihat seorang laki-laki jangkung berkulit putih dan berwajah Asia menatapku. Alisnya hitam, ra mbutnya pendek. Dia berumur sekitar 25 tahunan. “Is this 41?”

“Oh, yes,” jawabku beberapa detik kemudian.

“Ok,” jawabnya. Dia lalu duduk di sebelahku, membereskan tasnya dan merapikan jaketnya. Aku sekilas melihat paspor biru tua yang dipegangnya, di atas paspornya tertera huruf Kanji yang tak aku mengerti, lalu ada lambang  entah matahari/bunga, lalu di bawah lambang itu ada huruf latin tertera, “JAPAN PASSPORT”. Dia mengobrol dengan bahasa jepang dengan seorang teman laki-lakinya yang duduk di sebrangnya

Damn, umpatku dalam hati. Alih-alih dapat teman duduk perempuan, aku malah dapat teman duduk cowok jepang ganteng. Oh my Goood. Heiii aku kan udah bersuami dan jadi emak emak anak dua harus sadar diri hehehe.

Pesawat mulai berjalan ke tempat landasan pacu sementara para pramugari dan pramugara memperagakan keselamatan. Dari Intercom yang bergema dalam seluruh pesawat , terdengar Kopilot memperkenalkan seluruh awak kabin , yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Jepang oleh  salah satu pramugari.

Peragaan keselamatan selesai, seluruh awak kabin mengencangkan sabuk dan duduk di kursi masing-masing. Lampu pesawat diredupkan, mesin pesawat mulai berdengung kencang, dan roda-roda pesawat mulai berlari. Kemudian sensasi melambung itu mulai terasa saat hidung pesawat mulai menukik ke dalam malam yang gulita. Seluruh kabin senyap, lampu masih belum dihidupkan dan pesawat masih tetap berguncang keras. Aku tak hentinya melafalkan syahadat dalam hatiku.

Nah, kataku dalam hati, biasanya setelah pesawat telah mencapai “cruising altitude” tanda sabuk pengaman akan dipadamkan, lalu lampu kabin akan dinyalakan, dan pramugari cantik itu akan segera membagikan makanan dan minuman. Tapi setelah lama ditunggu-tunggu lampu sabuk keselamatan tetap menyala dan lampu tetap dipadamkan dan pesawat masih berguncang keras. Lalu dari Intercom yang bergema ke seluruh kabin copilot mengumumkan, “…due to the turbulence, please be seated with your safety belt buckled in. the toilet would not be available in this moment…”

Mendengar itu aku hanya bisa terus melafalkan syahadat, beginilah saat orang yang takut terbang ketika harus terbang. Aku melirik ke kiri, ke anak remaja  Malaysia di sebelahku yang hanya diam membisu, lalu melirik ke lelaki jepang di kananku, yang  tampak sedang sibuk memainkan game di smartphonennya dengan headset terpasang di kedua telinganya. Setelah guncangan yang berlangsung entah beberapa lama, akhirnya lampu kabin dinyalakan dan kopilot mengumumkan bahwa passanger bisa menggunakan toilet dan makanan akan dibagikan. Aku pun mengeluarkan nafas lega sambil mengusap wajahku. Rupanya tingkahku itu menarik perhatian pria Jepang di sebelahku itu, dia sejenak berhenti dari main game di smartphonenya dan melirikku. Membuatku malu sendiri.

Pramugari memberikan makanan jatahku, nasi biryani, sementara anak remaja Malaysia di sebelahku mendapat spagettinya. Pria jepang itu tetap sibuk dengan main game di smartphonenya. Saat aku kesulitan membuka tutup botol air mineralku, remaja Malaysia di sebelahku menatapku lalu mengangguk pelan, menawarkan untuk membukakan tutup botolnya . Aku pun memberikan botol air mineralku kepadanya dan dia membantu membukakannya. “Terima kasih,” bisikku padanya. Dia tersenyum. Sweet kid.

Setelah makan dan minum selesai dan para awak kabin mengumpulkan sampahnya, tiba-tiba lampu kembali dipadamkan, dan kopilot kembali mengumumkan kalau kita akan menghadapi turbulensi sehingga sabuk harus tetap terpasang. Pesawat berguncang keras, lalu para pramugari berkeliling untuk memastikan para passanger mengenakan sabuk di kursinya sambil berkata, “Seat belt in,please…”

“Cabin crew please be seated!” perintah kopilot melalui Intercom.

Aku pun menelan ludah. Kalau kru kabin yang sudah terbiasa terbang juga sudah disuruh duduk dengan sabuk terpasang, berarti turbulensi yang akan dialami benar-benar parah. Meski begitu, aku tak melihat kabin kru, setidaknya yang di depanku, duduk dengan sabuk terpasang di kursinya seperti yang diperintahkan. Aku terus berdo’a dan mengingat anak-anakku di rumah, yang berumur 6 & 3 tahun. Aku mengingat bagaimana hangatnya tubuh mereka dan wangi bedak dan minyak telon dari tubuh mereka. Tuhan, aku hanya ingin memeluk mereka, tolong selamatkan aku, selamatkan pesawat ini (lebay memang, tapi waktu itu aku benar-benar ketakutan).

Pesawat terus berguncang keras, dan aku pun tak tahan lagi. Aku menoleh ke lelaki Jepang di sebelah kananku itu, menepuk lengannya. “Excuse me…” bisikku.   

Lelaki Jepang itu menoleh ke arahku, lalu buru-buru melepas headset yang menempel di telinganya sejak dari tadi. Dia menatapku dengan pandangan bertanya. “Do you want to go the bathroom?” katanya, hendak bangkit dari kursinya.

“No..no…” tahanku. “Are the flights  from Tokyo to Kuala  Lumpur at night always like this?” kataku. “Is it always getting  this bumpy?”

Mendengar pertanyaanku dia tersenyum. “Actually,no,” jawabnya tenang. “I don’t know why this night is different.”

Glek! Lah yang sudah terbiasa dengan rute ini juga bilang ada yang berbeda dengan penerbangan malam ini. Aku membayangkan pesawat ini mengarungi awan-awan kelabu di tengah lautan udara yang gelap, in the sky in the middle of nowhere. Aku terus berdo’a saja semoga tidak ada alat navigasi yang rusak di pesawat ini. Tak ada satu pun sekrup yang terlepas yang terlewat dari inspeksi para kru di darat yang bisa mengakibatkan hal-hal fatal.

“But it’s okay,” katanya buru-buru menambahkan. Mungkin melihat raut wajahku yang terlihat cemas di tengah redupnya cahaya kabin. “It’s’Asia aniway. We’ll be alright.”

“I’m scared,” bisikku. “I don’t fly many, so I don’t know…”

“It’s okay,” katanya dengan nada menenangkan. “Where are you from?” tambahnya lagi. 

“I’m from Indonesia,” jawabku.

“Ah ya,”’sahutnya. “Then what would you do in Kuala Lumpur?”

“My flight transit in Kuala Lumpur before I take another plane to Jakarta.”

“I see. Are you working in Japan or travelling?”

“I’m travelling,” jawabku dengan tersenyum.

“So how is Japan? Japan good,right? Japan cool, isn’t it?

“Yeah,” timpalku bersemangat. “Japan is so beautiful, I love it. So what are you doing in Kuala Lumpur?”

“I’m studying,” jawabnya.

“I see,” kataku. “What about your family?”

“Ya, I’m Japanese. My Family is in Japan. “ jawabnya. “Which part of Indonesia are you? You know I have a lot of friends in my college from Indonesia. They are from Surabaya, Jakarta…”

“Ohya?” seruku. “I’m from Cianjur, near Bandung. West Java. Have you come to Indonesia?”

“No, I have not.”

“You should come, it’s beautiful,” kataku. “You know, you speak English fluently for a Japanese.”

Dan memang benar, bahasa Inggrisnya lancar dan jelas, tanpa ada kelihatan logat Jepang sama sekal. Berdasarkan yang aku alami selama di jepang, rata-rata orang sana tidak bisa bahasa Inggris, atau kalaupun bisa, bahasa Inggrisnya tidak terlau jelas karena logat jepangnya.

Dia tersenyum mendengar pujianku. “I like to study internationally. You know, I don’t like to read Kanji.”

“Oh, really..?”

“Ya, and I don’t like cold weather, I like tropical country, so I come to Kuala Lumpur.”

“Really?” seruku lagi. Aku malah orang tropis yang mencari dingin dan ingin merasakan musim gugur. Dia malah mencari hawa panas negara tropis, hmmm…

Kami mengobrol berbagai macam hal lain lagi, sebelum akhirnya berhenti dan terlelap di tidur masing-masing. Lampu kabin tidak dinyalakan lagi, mungkin maksudnya untuk membiarkan para penumpang tertidur lelap. Aku hanya bisa tidur sekejap-sekejap, karena mesin pesawat juga berdengung berisik, belum dengan turbulensi yang terjadi.

Sekitar 6 jam berikutnya, kopilot mengumumkan dari  interkom yang bergema ke seluruh kabin, bahwa pesawat sebentar lagi akan landing di Kuala Lumpur. Dia menjelaskan bahwa karena cuaca Kuala Lumpur yang berawan dan sedikit hujan, proses landing akan terasa sedikit “bumpy” . Namun sebelum proses landing dilakukan, pramugari dan pramugara beredar sekali lagi untuk membagikan sarapan pagi.

Lelaki Jepang disebelahku sibuk membolak-balik sebuah majalah penerbangan yang berada di kantung kursi di depannya, sebelum dia menyentuhku dan menunjuk sebuah halaman di majalah itu. Kulihat halaman itu menampakkan beberapa kota di Indonesia dengan foto-foto keindahan alamnya masing-masing. “Which part are you?” tanyanya.

“Ah,” seruku. “This one.” Aku menunjuk Bandung dengan foto tangkuban perahunya. Tak ada pilihan Cianjur di sana, dan aku juga pernah tinggal di bandung dan masih sering bolak-balik ke sana sekarang, hehe. “You should come. It’s beautiful,” undangku. Not mentioning the traffic jam dan sampah dimana-mana, hehe. But Bandung is better now,anyway, setelah RK gencar melakukan perombakan wajah Bdg dimana-mana (Sorry, no political interest).

Dia mengangguk-ngangguk dan bergumam, “Bandung…Bandung…”

Lampu kabin kembali diredupkan untuk proses landing. Suasana kembali senyap, hanya terdengar suara deru mesin di kanan kiri kami. Setelah beberapa menit yang terasa seabad, roda pesawat menyentuh tanah, lalu rem, kemudian pesawat melalu proses parking untuk menuju ke terminalnya. Aku berseru dalam hati, “Alhamdulillah!”

Kami pun bersiap-siap mengemas tas kami.

Aku pun melontarkan pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiranku dari tadi.”Why do you study in Malaysia? Why not In Japan?”

“Well, like I said earlier I like to study internationally. It’s cheaper here..and I like tropical country.”

“I see.. you are so different,” kataku

“As long as being different in a good way,” katanya sambil tersenyum.

Pikirku, mungkin orang ini bosan dengan masyarakat Jepang yang kaku dan ingin memiliki kebebasannya sendiri.

“Do you have bags up here?” tanyanya menunjuk atas kabin tempat menyimpan tas.

“No, I have my check in luggage.”

“I have my other  two bags here so I have to wait.”

Terdengar pintu pesawat dibuka dan disambungkan dengan gate.

“You know,” tambahku. “Actually I hate flying. I have to catch my next flight after this.”

“That’s okay..” katanya menenangkan.

Lalu dia berbicara tentang kartu SIM  Malaysianya yang expired, dan bagaimana dia mungkin tidak bisa order grab karena harus membeli kartu SIM baru. Dia menceritakan berbagai hal lain lagi dan hal lain lagi, yang hanya bisa aku timpali dengan “Really?” “Yes..” “I see..”. Wah wah ternyata orang jepang ini kalo sudah diakrabi bawel juga ya :D

Aku sudah melangkah ke Alley, antrian menuju keluar sudah mulai bergerak, dan untuk terakhir kalinya aku menoleh ke arahnya dan berkata, “Sayonara..”

Dia melambaikan tangannya dan berkata sambil tersenyum, “Have a nice flight…”

Aku pun melangkah keluar menuju bandara KLIA 2 yang sedikit lebih hangat. Tanpa tahu ada drama yang lain menungguku…


Senja di Odaiba, Sayonara Japan

Memoar Perjalanan Jepang November 2017

Odaiba, Tokyo
13 nov 2017
Sore hari menjelang matahari terbenam.
Suhu: 13 derajat celcius




Matahari bersinar miring di sisi timur, menandakan malam akan segera tiba.  Sinarnya menyinari "rainbow bridge" di depan teluk odaiba, tempat sekarang aku duduk di sebuah kursi taman.  Aku tahu tempat ini pertama kali dari serial Itazura Na Kiss Love In Tokyo,  scene dimana Irie Naoki dan Kotoko Airaha escaping dari kencan gagal mereka.

Tak percaya rasanya aku bisa sampai ke sini,  tempat yg dulu hanya aku bisa pandangi dari layar kaca.  Turis-turis lain dan warga tokyo banyak yg menikmati suasana di sini. Suasananya sangat tenang,  dengan dengung pelan kapal fery yg melintas dan suara burung yang berkicau dari atas pepohonan di sisi teluk.

Aku menghabiskan jam-jam terakhirku di jepang dengan memandangi Rainbow Bridge dan meresapi suasana damai yg ditawarkan dari deburan ombak dan dengungan kapal fery. Perlahan malam mulai merayap turun,  dan serta merta "Rainbow Bridge" di depan mataku menyuguhkan lampu-lampunya yg berkelap -kelip.

Penerbanganku berangkat tengah malam sekarang dari Haneda Airport. Rasanya senang sekaligus sedih aku akan segera meninggalkan jepang.  Senang karena aku akan segera kembali ke rumah,  bertemu dengan keluarga dan anak-anakku.  Sedih karena aku akan meninggalkan jepang, yang setiap sudutnya sangat indah, negara yang sangat teratur dan bersih,  toilet yg hangat dan canggih,  kereta yg tepat waktu...

Aku tidak tahu apakah akan kembali ke sini atau tidak.  Karena setelah ini, jepang bukan prioritas lagi sebagai negara yg akan kukunjungi.  Aku ingin melihat keindahan dunia yang lain lagi.

Semakin malam udara menjadi semakin dingin.  Aku pun kembali menggendong tas ranselku dan melangkah menuju tokyo metro yang akan membawaku ke Haneda Airport.  Sayonara Japan...

Kyoto, Pada Suatu Sore di Musim Gugur

Memoar Perjalanan Jepang November 2017



Kyoto,  10 nov 2017
Sebuah taman di depan Heian Shrine.
Suhu: 14 derajat celcius

Sore hari menjelang di kota kyoto.  Dedaunan musim gugur berwarna merah muncul di sepanjang pohon di sepanjang jalan. Sinar matahari menyinari dedaunan merah itu hingga menjadi keemasan. Sebagian telah berguguran menghiasi trotoar yang bersih.  Di bawah pohon-pohon itu,  banyak warga kyoto sedang berkelekar sambil duduk-duduk.  Banyak yang membawa anak-anaknya bermain. Seorang anak menangis terjatuh lalu dihibur oleh ibunya.  Siang Menjelang sore temperatur lebih sedikit menghangat karena matahari siang,  sebelum temperaturnya turun lagi menjelang matahari tenggelam.

Aku menyibukkan diri untuk memfoto suasana yg damai itu,  sebelum akhirnya memutuskan untuk meminta tolong orang untuk memfotoku.

Aku melihat gadis muda berkucir satu berjalan melintas. Dan refleks saja aku mendekat dan berkata,  "Sumimasen. " sumimasen adalah kata dari bahasa Jepang yg berarti permisi.

"Ha'i, " jawab gadis itu.

"Bisakah kamu memfotoku?  Dengan latar pemandangan ini? " lanjutku dalam bahasa Inggris.

"Ohya tentu saja" jawabnya dengan bahasa Inggris juga.

"Maaf aku mengganggu waktumu."

"Ah,, Tidak sama sekali. "

"Pemandangannya cantik sekali ya," kataku lagi,  menunjuk ke belakang.

"Ah ya,  cuacanya memang sedang bagus hari ini, " jawabnya,  mengarahkan kamera ke arahku.  "Aku akan mengambil beberapa foto,  lalu kamu bisa pilih mana yg kamu suka. " dia memencet tombol kamera sedangkan aku mulai berpose.

"Nah selesai, " katanya,  lalu memberikan kameranya padaku. Coba lihat apakah kamu menyukainya.

Aku melihat hasil jepretannya.  "Ah ya, " teriakku.  "Bagus sekali,  terima kasih. "

"Ya sama2," sahutnya tersenyum.

"Aku suka sekali Kyoto,  kotanya indah sekali, " lanjutku lagi.

"Ya terima kasih,  aku harap kamu menikmati perjalananmu ke sini, " jawabnya dengan senyum yg manis.  "Dari mana asalmu?"

"Aku dari Indonesia, " jawabku.

Matanya membulat.  "Ohya. Semoga kamu senang di sini, " katanya lagi.

"Ya aku senang,  " kataku.

"Have fun, " katanya

"Sayonara, " kataku

Dia tersenyum lagi dan menjawab "Sayonara. "

Selasa, 24 Oktober 2017

Thaniya Road, Salah Satu Kawasan Prostitusi di Kota Bangkok

Bangkok, Thailand 4 Februari 2017
Pukul 10.05 malam waktu Bangkok, angin yang kering berhembus di tengah kota, membuat warna-warni lampu seakan berkelip seperti cahaya lilin yang bertiup di depan mata. Aku menarik koper di sebelahku, menyeretnya dengan sedikit kepayahan. Aku mencoba berjalan sejajar dengan Teh Maria yang berjalan sangat cepat
“Ayo,” katanya “Aku bawa Novi ke restoran seafood terenak di kota Bangkok, mudah-mudahan masih buka."
“Teh Mar,” kataku terengah.”Teh Mar udah kebiasaan jalan sama orang Jepang ya, susah nyusulnya. Aku biasa jalan di Cianjur santai Teh Mar.” Aku terakhir meneguk minuman di bandara Soekarno Hatta sebelum check in,dan sebagai bagian resiko menaiki budget airline ,yang air putih saja harus beli, selama dua jam in-flight, lalu mendarat di bandara Don Mueang dan naik bus serta BTS sendiri untuk menemui Teh Maria yang telah menungguku, aku merasa energiku sudah cukup banyak terkuras. Bukan berarti aku ga punya uang sama sekali buat beli air minum sih. Cuman pikiranku lebih terfokus bagaimana bisa selamat sendirian memakai transportasi di negeri asing yang belum pernah aku coba sebelumnya.
Seketika itu Teh Maria berbalik sambil menahan tawa. “Maaf Novi…” dia lalu melambatkan ritme berjalannya.
Teh Maria dan aku rupanya harus kecewa, karena restoran yang dituju sudah tutup. Kita kemudian berjalan balik ke arah hotel. Jalan menuju ke hotel di daerah Silom, kita harus melewati sebuah jalan lurus dan panjang sejauh kurang lebih 500meter. Sambil jalan Teh Maria menjelaskan bahwa jalan yang sedang dilewati ini namanya Thaniya Road.
Sekilas jalan itu terlihat biasa dengan pertokoan yang berjajar di sepanjang jalannya. Lampu-lampu toko dan papan-papan billboard yang bergelantungan di antara toko-toko itu menawarkan semarak kota Bangkok pada malam hari. Ada sebuah gerobak minuman terparkir di depan salah satu toko yang menawarkan service massage. Aku dan Teh Maria menghampiri gerobak minuman itu lalu memesan minuman mangga yang kupikir terlalu banyak esnya sehingga terasa dingin sekali di tenggorokan. Kami berdua duduk di kursi kecil yang tersedia di depan gerobak penjual minuman itu.
“Vi,” bisik Teh Maria sambil menyentuh bahuku, “Coba deh kamu liat itu, mereka cewek-cewek yang berkumpul itu.”
Aku melihat ke sekeliling dan baru tersadar di sepanjang jalan banyak gadis-gadis yang berkelompok kelompok duduk di kursi. Setiap kelompok bisa terdiri dari 10-20 gadis, dan di tiap kelompok ,gadis-gadis itu memakai seragam yang sama sesuai kelompoknya. Gadis-gadis itu rata-rata memakai dress dengan rok sempit yang memperlihatkan paha, bersepatu hak tinggi, dengan dandanan glamour, tapi menurutku tidak terlihat kampungan. Di antara kelo mpok itu, ada yang seragamnya seperti baju cewek sailor berwarna biru tua, ada yang seragamnya berwarna peach dll. Mereka terlihat asyik mengobrol satu sama lain. Di tiap kelo mpok, aku melihat ada ibu-ibu/bapak-bapak yang kata Teh Maria itu mucikarinya, yang memakai seragam yang berwarna sama dengan kelompoknya.
“Mereka itu lagi jualan,vi..” bisik Teh Maria lagi. Tanpa harus menyahut aku mengerti apa yang dimaksudnya. Ternyata memang bisa bebas gini ya, tempat prostitusi di kota Bangkok. Dan orang yang lewat di sepanjang jalan itu bukan hanya kita berdua, tapi banyak warga Bangkok lain yang berlalu lalang dan seperti telah terbiasa dengan “keadaan” Tania Road yang seperti itu. Diantara mereka bahkan ada keluarga yang membawa anak kecil. Salah satunya anak perempuan berumur 5 tahuan yang membeli minuman di gerobak minum yang kita berdua lagi tongkrongin.
“Eh,” kata Teh Maria, kelihatan terkejut melihat anak perempuan itu. kupikir dia ga bakal terkejut. “Anak kecil kok dibawa ke sini sih.”
Aku tertawa kecil. “Mungkin mereka sudah biasa.”
“Yah, tetep aja,” katanya jengkel. “Keterlaluan.”
Setelah itu kita kembali ke hotel untuk beristirahat. Banyak tempat yang harus dikunjungi besoknya.
Notes:Aku sengaja tidak memoto gadis-gadis itu. Kalau foto mereka secara sembunyi dan ke “gap” nanti aku takut dikeroyok masal buuu
Job fill your pocket, Adventures fill your soul
A Diary Of A Solo Traveller

Sabtu, 28 November 2015

Katumbiri, Menerima Pesanan Birthday Cake & Wedding Cake Daerah Cianjur

Menerima Pesanan Kue Ulang Tahun Cianjur


Wedding Cake Cianjur

 Cupcake Themed Set Cianjur



Katumbiri menerima pesanan kue ulang tahun, kue pernikahan, cupcakes themed set dan kue untuk special occasion lainnya untuk daerah Cianjur. Dengan dekorasi yang cantik, rasa yang enak dan harga yang kompetitif Katumbiri sangat terbuka untuk mendiskusikan berbagai cake special untuk hari-hari istimewa anda. Berikut beberapa contoh cake yang disediakan. Untuk pemesanan atau pertanyaan selanjutnya silahkan hubungi nomor kontak kami di bawah ini.

Birthday Cake (Hias Buttercream + Simple Fondant)
Hiasan, bentuk, model dan pemilihan warna bisa dipilih dan didiskusikan
Pilihan Rasa Sponge cake Coklat, Green Tea & rainbow cake.

  

Carving Cake Cars
Birthday Cake Tema Bola

Doraemon Birthday Cake

Flower Cake



Birthday Cake (Hias Buttercream + Edible Image)
Hiasan, bentuk, model dan pemilihan warna bisa dipilih dan didiskusikan. Edible Image adalah gambar khusus untuk kue yang aman dimakan, kertasnya terbuat dari gula icing dengan tinta pewarna makanan. Edible image bisa dipesan sesuai keinginan customer, bisa tokoh karakter kartun atau foto anak.
Pilihan Rasa Sponge cake Coklat, Green Tea & rainbow cake.

 




 




Birthday Cake (Hias Full Fondant)
Fondant adalah bahan kue yang rasanya manis dan bisa dibentuk menjadi hiasan yang unik sesuai keinginan. Hiasan, bentuk, model dan pemilihan warna bisa dipilih dan didiskusikan.

 

 



Cupcakes Tower 
(Hias Buttercream + Simple Fondant)
Penyajian kue yang unik, cocok untuk wedding dan ulang tahun. Hiasan, bentuk, model dan pemilihan warna bisa dipilih dan didiskusikan


Contoh Wedding Cupcakes Tower Gold Package



Birthday Cupcakes Tower Tema Tinkerbell





Birthday Cupcake Tower untuk ulang tahun Bupati Cianjur Bpk. Hj. Irfan Rivano Muchtar pada tanggal 27 Agustus 2016. terimakasih Ibu Ratu Irfan Rivano yang telah memesan dari Katumbiri.



 


Cupcake Themed Set Dekorasi Fondant
Bisa disesuaikan dengan tema yang diinginkan untuk ulang tahun, anniversary, dan special occassion lainnya

 








Batik Roll Cake Motif Batik Cianjuran & Batik Nusantara
Rollcake bermotif batik. cocok untuk hantaran, oleh-oleh dan suguhan untuk karib kerabat. tersedia motif tradisional batik cianjuran.


Motif Batik Cianjuran Hayam Pelung

Motif Batik Cianjuran Lampu Gentur Kacapi Suling


Motif Pemalang

Motif Batik Cianjuran Hayam Pelung & Motif Gonggong Batam


Katumbiri
(Custom Cake Cianjur)
Alamat              : Jl. Lapang Banteng no. 6 Maleber Kec. Karang Tengah Cianjur 43281
Instagram          : @katumbiricakecianjur
Facebook  Page     : @katumbiricakecianjur
Website:  www.katumbiricakecianjur.com
Pin BB              : D06CCE1E
Whatsapp/sms  : 082117333645


Jumat, 03 Januari 2014

Pengalaman Operasi Tumor Payudara




Aku lupa apakah aku sempat menceritakan padamu sekitar 4 tahun lalu, ketika aku masih magang di mkaa, sebelum lulus kuliah, aku menemukan sebuah benjolan di payudara kiriku. Waktu itu aku kaget banget, dan langsung mengira itu adalah kanker payudara. Tapi setelah pemeriksaan ke dokter dan mendengar cerita beberapa teman yang juga mengalami hal sama, benjolan itu kemungkinan besar bukan kanker, tapi FAM (Tumor jinak) yang biasa tumbuh karena pengaruh hormon, dan biasa diidap oleh wanita usia muda. Ciri-cirinya benjolannya mobile (bisa digerakkan dengan leluasa), dan tidak ada ciri seperti ruam atau keluar cairan darah dari puting, payudara yang melesak dan berubah tekstur dll. Payudaraku terlihat mulus mulus saja, hanya ada benjolan sebuah yang teraba.
Dokter bilang aku harus operasi pengangkatan benjolan itu. Cuman karena waktu itu orang tua ku blm punya biaya, operasi ditunda. Lalu aku menemukan terapi alternatif sengatan lebah, yang sama sekali tidak ada hasilnya. Aku kemudian mencoba alternatif lain, yang kata orangnya terapi sinar apa gitu… yang tidak berhasil juga. Lalu aku menikah, hamil dan menyusui, penyebab aku urung operasi juga karena takut mengganggu proses kehamilan dan menyusui.
Baru sebulan belakangan ini, setelah selesai menyapih anakku Edelweis (2 thn), aku (25 tahun) aktif periksa ke dokter lagi. Memang aku merasa benjolan itu tidak berubah, segitu-gitu aja, dan tak ada yang berubah di payudaraku. Tapi aku masih merasa was was dan semakin khawatir, keadaan payudaraku nanti bakal memburuk jika penyakit ini dibiarkan terlalu lama. Apa lagi aku baca-baca artikel di internet kalau tumor jinak juga bisa berubah ganas kalau dibiarkan bertahun-tahun. Meskipun aku sangat takut operasi, sepertinya aku tidak mempunyai pilihan lain, hiks.
Aku mulai searching di web tentang dokter bedah onkologi (yang khusus menangani tumor dan kanker) di Bandung. Aku menemukan beberapa nama, tapi kebanyakan praktek di rs swasta. Suamiku menyarankan untuk ke RS Hermina Sukabumi, pertimbangan karena dekat dengan tempat tinggal (aku tinggal di Cianjur). Selain itu dulu sewaktu hamil aku cek up di Hermina Pasteur, yang pelayanannya cukup memuaskan, meskipun memang agak mahal, hehe. Lupakan opsi dokter bedah di Cianjur, yang disarankan ya dokter itu-itu aja, dan aku kurang suka dengan orangnya karena jutek. Plus pamanku pernah punya pengalaman kurang memuaskan dengan dokter itu. Tidak ada pelayanan medis yang menjanjikan di Cianjur. Apalagi ini masalah pembedahan organ yang agak ‘sensitif’, jadi aku tak mau sembarangan juga.
Berangkatlah aku ke RS Hermina Sukabumi pada 17 Desember 2013. Aku bertemu dokter spesial bedah biasa (tak ada embel-embel onkologi di belakangnya). Seperti  dokter-dokter sebelumnya, dia menyarankan untuk operasi. Dokter itu mengatakan hal-hal yang mengerikan. Katanya benjolan di payudaraku itu 75% jinak tapi 25% bisa jadi ganas. Kalo ganas tindakan selanjutnya adalah pengangkatan payudara, lalu kemoterapi radioterapi dll. Cerita-cerita yang bikin aku shock banget. Setelah selesai diperiksa oleh dokter itu, aku menelepon suamiku sambil nangis-nangis ketakutan di tempat parkir, pokoknya udah ga tau malu lagi deh, hihi. Aku sangat terpukul dengan kemungkinan kanker, rasanya lebih baik mati saja daripada harus pengangkatan payudara, kemo dll yang juga memiliki banyak efek samping (rambut rontok, kulit gosong dll), Oh ya biaya operasi di Hermina biayanya sekitar 10jutaan, itu juga kelas III, dan belum termasuk visit dokter, pajak, obat-obatan dll. Aku pun mencari alternatif yang lebih murah, pilihanku jatuh ke RSUP Hasan Sadikin Bandung.
Tanggal 23 Desember aku berangkat ke bandung, kali ini suamiku bisa mengantarku pergi untuk cek ke RSHS. Seperti hal-hal yang terjadi di RS pemerintah, pasien sangat membludak, dengan antrian dan adminsitrasi yang cukup ribet. Jam 12 siang jadwal dokternya dimulai. Namanya dr. Dimyati Ahmad SpB K(onk), kali ini benar-benar dokter spesialis bedah onkologi.
Dr. Dimyati ini kelihatan cukup berumur dan berpengalaman. Dan di luar dugaan, dia ramah sekali. Untuk kesekian kalinya aku menjelaskan benjolan di payudaraku di depan seorang dokter. Dia kemudian memintaku untuk berbaring di meja periksa dengan dibantu suster.
Setelah ‘rabaan’nya dia mengangguk-ngangguk dan berkata, “Yah, FAM (tumor jinak). Jangan dipelihara ya, harus dioperasi.”
Kemudian dia tanpa aku minta menjelaskan tentang kelenjar yang ada di payudara, dan kenapa bisa ada benjolan dll yang membuat pikiranku tenang. Tapi dia tetap menambahkan, “Setelah dioperasi harus pemerikasaan patologi untuk memastikan, tapi menurut pengamatan saya benjolan itu jinak.”
Lalu dia (yang juga tanpa aku minta) menjelaskan proses pembedahannya. “Nanti sayatannya dilakukan di sekitar areola (daerah gelap sekitar putting), jadi tidak akan terlalu kelihatan bekas operasinya.”
Hal yang berbeda yang aku dengar sebelumnya dari dokter bedah di Sukabumi itu, yang mengatakan kalau benjolanku sudah sekitar 3cm, jadi harus dilakukan sayatan panjang, tidak bisa di areola yang bisa menyamarkan bekas luka. Well, syukurlah aku tidak jadi operasi dengan dokter itu dan bertemu dengan dr. Dimyati. dr. Dimyati sangat ramah dan menanamkan pikiran positif pada diriku. Menurutku kepiawaian berbicara juga penting dimiliki seorang dokter. Seberapa parah pun penyakit yang diderita pasien, alangkah lebih baik jika sang dokter bisa menyampaikan dengan cara yang positif dan tidak terkesan menakuti. Bukankah sugesti positif sangat berpengaruh pada faktor kesembuhan pasien? Plus aku tak jadi punya luka sayatan panjang bekas operasi jika aku dioperasi oleh dokter bedah Sukabumi itu, melainkan luka operasi tersamar oleh dokter Dim. Second opinion ternyata sangat berguna, ya?
“Lalu dokter kapan bisa operasi?” tanyaku.
“Mbak maunya kapan?” tanyanya balik. “Besok boleh, kalau tdak hari jum’at (tgl 27). Sekarang saya buatkan surat pengantar cek lab dan rontgen. Sekarang mbaknya daftar ke gedung... (aku lupa namanya) lt.4 untuk pendaftaran operasi. Teknis dan rincian biaya juga bisa ditanya di sana” Lalu dokter Dimyati dengan senang hati membuatkan denah lokasi menuju gedung pendaftaran operasi yang dimaksud, yang aku berterima kasih sekali karena RSHS sangat besar hingga peluang tersesat sangat besar juga.
Setelah berunding dengan suami, katanya daripada habis biaya, waktu dan tenaga lagi memang lebih baik besok langsung operasi, biar cepat tuntas semuanya. Aku pun mendaftar untuk jadwal operasi besok, dan bergegas pergi ke Pra***a Lab untuk cek lab dan rontgen, karena di sana hasilnya bisa keluar hari itu juga.
Mendengar aku mau langsung dioperasi besok, kedua orang tuaku langsung menyusul dari Cianjur ke Bandung. Kami pun menginap di sebuah hotel di kota Bandung. Paginya pukul 7.30 aku sudah siap di ruang tunggu di lt.4 karena kata ibu Siti (petugas yang megurusi pasien untuk daftar operasi) bilang kalo aku harus berada di sana paling lambat jam 8. Ternyata aku kepagian, ibu Siti nya juga belum datang, kulihat di kaca di dalam hanya ada beberapa staf medis berpakaian hijau dan bermasker. Akhirnya setelah bu Siti dan beberapa pegawai administrasi datang, aku mendaftar ulang dan menandatangani beberapa berkas, lalu menunggu untuk dipanggil
Makin siang  ruang tunggu makin penuh oleh pasien dan keluarga pasien yang entah mau apa. Yang jelas di pintu masuk memang tertera tulisan, “BEDAH MINOR DAN ENDOSKOPI”. sambil bertanya-tanya dalam hati apakah Endoskopi itu, aku terus-terusan berdo’a pada Allah SWT dimohon kelancaran. Jujur saja aku sangat takut sekali. Ini pertama kali aku operasi, bius total. Ada sedikit kekhawatiran setelah dibius aku tidak akan bangun lagi, atau operasinya mengalami kegagalan dsb, hehe.
Setelah beberapa lama nama ku pun dipanggil, aku menemui seorang staf medis perempuan berbaju hijau dan berkerudung yang ramah, yang menanyakan apakah aku alergi obat, atau punya penyakit serius dengan sistem pernafasan seperti sesak nafas dll. Aku kemudian diminta ganti baju dengan ‘baju operasi’, yah aku menyebutnya begitu karena aku tak tahu namanya apa. Warnanya hijau, bahannya agak kaku berbentuk terusan sampai ke betis dengan kedua lengan yang panjang. Penutup kepalanya berwarna hijau juga. Baju bahkan sampai dalaman harus dilepas, semua perhiasan bahkan ikat rambut harus dilepas. Aku agak ga nyaman memakai ‘baju operasi’ itu, karena itu kan bekas ratusan bahkan ribuan orang lain yang juga akan melakukan pembedahan atau entah apa. Apalagi ada beberapa noda samar entah apa yang terlihat di sana sini. Aku berbaik sangka saja bahwa baju itu telah dicuci bersih sebelumnya sebelum aku pakai.
Ketika di ruang ganti aku bertemu mbak-mbak yang sedang ganti baju operasi juga, tubuhnya terlihat kurus sekali, seperti sapu lidi.
Iseng aku bertanya, “Mau operasi juga ya?”
Mbak itu tersenyum, terlihat lemah. “Bukan, “ jawabnya. “Mau cuci darah.”
Aku hanya bisa menjawab ooohh yang panjang, sambil mengingat-nginta dalam hati penyakit apa gerangan yang harus cuci darah, sampai pada kesimpulan, mungkinkah leukemia? Glek!
Keluar dari ruang ganti aku clingukan, keluarga pasien tak boleh masuk ke dalam ruangan. Mereka harus menunggu di ruang tunggu. Sampai beberapa saat kemudian ada staf medis pria bermasker berpakaian hijau (catt: semua staf medis di sana berpakaian hijau dan bermasker  ya jadi sudah tidak perlu aku sebut lagi nanti, hihihi) bertanya padaku, “Ibu Noviana ya? Mari ke sini, ke sebelah kanan ada kasur, berbaring saja di sana,” katanya dengan ramah, dia membantuku untuk naik ke atas kasur.
Aku duduk di kasur, menunggu. Ada 4 ranjang di sana, semuanya terisi. Dua ranjang di kananku berisi ibu-ibu yang entah mau apa juga. Satu ranjang di sebelah kiri ku berisi seorang laki-laki yang berbaring diam, saat melihat tangannya yang dimasuki selang infus seperti berdarah aku memalingkan muka. Sementara ruangan sangat dingin, entah kenapa, dingiiinn sekali, sampai-sampai aku menggigil. Mungkinkah pendingin ruangan? Mungkinkah suasananya? Mungkinkah yang lain? Entah lah.
Beberapa saat kemudian staf medis laki-laki tadi datang membawa kantong infus, beberapa jarum, dan tiang infus nya. Dia ditemani lagi dengan rekannya, seorang laki-laki dan perempuan. Kuperhatikan staf-staf medis di sana rata-rata terlihat masih muda, kira-kira seumuranku, 20 tahunan atau 30. Staf medis perempuan lalu mengeluarkan jarum untuk ditusukkan ke atas telapak tangan bagian atas ku untuk memasukkan selang infusnya. Proses penusukan jarum infus ini adalah bagian yang lumayan menyakitkan bagiku. Karena staf medis perempuan itu tak juga menemukan pembuluh darah vena di tanganku. Berkali-kali jarum itu dimasukkan, terus dikeluarkan lagi, dimasukkan lagi, aku sampai menjerit-jerit kesakitan.
Karena staf medis perempuan itu tak kunjung berhasil memasukkan selang infus ke alran darahku, maka staf-staf medis yang lain datang mengarahkan, kulihat juga ada dokter-dokter yang terlihat lebih senior mendatangi dan mengarahkan dengan lebih keras, lalu menyuruhku mengepalkan tangan lalu membukanya lagi agar pembuluh vena-ku bisa terlihat.
Akhirnya setelah beberapa saat pergulatan yang menyakitkan, jarum itu masuk dengan benar di aliran darahku. Staf medis perempuan yang beberapa saat lalu 'menyiksaku' itu mendekat ke arahku, hingga aku bisa melihat kartu nama yang tergantung di bajunya, “Dokter Muda Anestesi”. Oh ya ampuuunnn pantas, jadi aku dipakai belajar ya mbak. Yah gpp semoga jadi dokter anestesi yang hebat ya. Aku sebenarnya ikhlas-ikhlas saja, yang membuat pikiranku tenang adalah, dokter-dokter paling hebat dan bepengalaman sekalipun pasti harus melalui tahap belajar dulu, seperti yang dilakukan dokter muda ini.
Seorang staf bedah perempuan berkerudung yang pertama kali menemuiku mendekatiku kembali, menanyakan kondisiku dan berkata kepadaku bahwa operasinya akan segera dimulai. Glek! Aku langsung gugup lagi. Aku pun dipapah di sisi kanan oleh dirinya. Sedangkan di sisi kiri seorang staf bedah laki-laki tadi juga memapahku sambil membawa infusanku.
Aku masuk ke kamar operasi no. 1, lalu diminta berbaring di meja operasi. Yah penampakkan kamar operasi itu tidak jauh berbeda dengan kamar operasi yang aku lihat di adegan film-film. Ada alat monitor untuk jantung yang entah apa namanya, lalu ada lampu bedah, dan beberapa alat lain yang tidak kuperhatikan. Untung aku tidak melihat berbagai peralatan operasi seperti pisau bedah, gunting dll, karena melihat hal itu aku akan semakin nervous. Aku berbaring, dan melihat lampu bedah yang tidak menyala sekitar satu meter dari mukaku. Beberapa staf bedah lain ikut memenuhi kamar, wah ternyata yang ikut operasi banyak juga ya. Dokter Dimyati juga sudah datang memakai maskernya. Aku juga melihat Dokter senior lain yang bertanya lagi padaku apa aku ada alergi obat, penyakit sesak dll, kupikir dia adalah dokter anestesinya, karena kemudian dia lah yang menyuntik obat bius ke selang infusku.
Dokter Anestesi lalu mengajakku mengobrol beberapa hal, seperti darimana asalku dll. Lalu kemudian dia memintaku berdo’a, baca al-fatihah karena operasinya dimulai sekarang. Mendengar itu aku tambah dag dig dug, sampai-sampai staf medis berkerudung bertanya, “Mbak, mbak Noviana gugup ya?” Mungkin terlihat dari monitor detak jantungnya, hihihi.
“Siap ya, biusnya saya masukkan sekarang, sedikit aja dosisnya,” kata dokter anestesi itu. Dia lalu menusukkan tabung berisi bius ke dalam selang infusku. Aku mulai merasakan tanganku yang ditempelin selang infus terasa pegal luar biasa, menandakan biusnya sudah mulai masuk aliran darahku. Aku menatap lampu bedah yang ada di atas wajahku, sambil terus berdo’a, dan mulai merasakan mataku berat. Aku mengedip, sekali. Aku mengedip lagi, dua kali. Lalu mataku terasa berat sekali, hingga aku akhirnya menutup mata, tenggelam dalam kegelapan tidur yang dalam…..
Entah berapa lama, aku tiba-tiba mendengar sebuah suara perempuan, suara seorang perawat. Rasanya seperti ditarik dari kegelapan menuju cahaya. Aku hanya bisa mengerjap-ngerjapkan mata. Aku tidak ingat apa yang dkatakan perawat itu, tapi aku hanya menjawab singkat, “Dingin.” Karena memang itu lah yang aku rasakan, aku menggigil kedinginan. Kurasakan perawat itu membenarkan letak selimutku. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku lagi, kelopak mataku terasa berat sekali untuk membuka. Samar-samar kulihat aku telah berada di ruang pemulihan. Selang infus sudah dilepas dari tanganku. Yang ada malah selang bantu oksigen yang masuk melalui kedua lubang hidungku. Lalu kurasakan sakit di dada kiriku, tempat pembedahan tadi dilakukan.

Samar-samar kulihat Mama berdiri di samping kasurku. Mama kemudian dipanggil oleh seorang suster untuk menemui dokter Dimyati, untuk memberikan benjolan yang selama ini telah bersarang di payudaraku dan memberikan beberapa instruksi. Suamiku datang menngambil benjolan itu yang disimpan dalam sebuah tabung kaca, untuk diserahkan ke lab patologi untuk diteliti jenisnya. Sebelum pergi dia menggoyang goyangkan botol kacanya di depanku untuk menunjukkan benjolan itu. Aku yang masih lemas dan sulit membuka mata tidak bisa melihat itu dengan jelas. Aku ingin berteriak “tolong fotokan!” tapi aku terlalu lemah untuk bicara. Jadinya benjolan itu tidak terdokumentasikan.
Sejam setelahnya aku merasa baikan, dan bisa segera langsung pulang hari itu juga. Seminggu kemudian aku kontrol ke dokter Dimyati, disambut dengan keramahannya yang luar biasa, dan membuka jahitan bekas operasiku. Hasil Patalogi Analisis si benjolan juga sudah keluar. Dan Alhamdulillah Wasyukirillah Ya Rabb… hasilnya memang tumor jinak, Fibroadenoma (FAM) Mammae Sinistra, dan tidak menunjukkan tanda-tanda ganas (kanker). Tapi ukurannya luamayan sudah besar juga 4x3,5x2,5cm. jadi pilihanku untuk operasi memang sudah tepat. Kalau tidak mungkin nanti akan semakin membahayakan.
Ohya untuk sekedar informasi, biaya operasi di RS Hasan Sadikin Bandung adalah 6 juta (tahun 2013). Itu biaya operasi + cek patologi. Lumayan terjangkau, dan pelayanannya pun cukup memuaskan ko, jadi tidak rugi lah. Malah aku senang sekali lebih memilih operasi di sini daripada di sukabumi, ditangani dokter yang lebih berpengalaman dan biaya yang lebih murah. Staf-staf medisnya juga ramah-ramah. selain memang RSHS agak selalu penuh dan mungkin banyak dokter muda yang praktek, tp ya positif thinking saja lah, hehe. Kalau di rumah sakit swasta biayanya paling murah bisa 10-15 juta.
Dan, terakhir, untuk saudara-saudara perempuanku di luar sana yang mengalami penyakit yang sama yang aku alami, jangan takut untuk segera melakukan tindakan operasi jika menemukan benjolan. Lebih cepat ditangani lebih baik. Jangan tergiur dengan tawaran pengobatan alternatif yang tidak jelas juntrungannnya. Aku telah mencoba dua jenis pengobatan alternatif dan semuanya NONSENSE. Sebelum operasi jangan lupa untuk terus berdo’a diminta kesembuhan padaNya, karena penyakit dan ujian datang dariNya dan hanya dariNya lah kesembuhan datang. Insyaallah semuanya proses akan lancar. Proses penyembuhan pasca operasinya juga tidak terlalu lama. Kalau baru beberapa hari sih masih kerasa agak sakit dan kaku_jangan dulu bekerja yang berat-berat, istirahat yang cukup. Baru sekitar seminggu setelah operasi bisa beraktivitas seperti biasa.
Oh ya, kita perempuan juga WAJIB melakukan SADARI (Periksa Payudara Sendiri), kalau menemukan benjolan sekecil apa pun segera ke dokter. Makin dini sebuah penyakit ditangani makin besar harapan sembuh dan juga makin sedikit biaya yang dikeluarkan. Aku sih cuman agak beruntung aja mendiamkan sebuah benjolan selama 4 tahun. Aku tidak akan melakukan itu lagi kalau menemukan (semoga tidak) benjolan lagi.
Gud Luck, then... :)